Makalah Pemikiran EKONOMI ABU UBAID (SPEI)
PEMIKIRAN EKONOMI ABU UBAID
(150-224 H)
A.
Riwayat Hidup
Abu
ubaid bernama lengkap al-qosim bin Sallam bin Miskin bin Zaid Al Harawi Al
Baghdadi. Ia lahir pada tahun 150 H di kota Harrah, Khurasan, sebelah barat
laut Afghanistan. Ayahnya keturunan
Byantium yang menjadi maula suku
Azad. Setelah memperoleh ilmu yang memadai dikota kelahirannya, pada usia 20 tahun, Abu ubaid
pergi berkelana untuk menuntut ilmu ke berbagai kota, sepeti Kufah, Basrah, dan
Baghdad. Ilmu-ilmu yang di pelajarinya
antara lain mencakup ilmu tata bahasa arab, qira’at, tafsir,hadis dan fiqh.
Pada tahun 192 H. Tsabit ibn Nasr ibn Malik, Gubernur thugur di masa
pemerintaha khalifah Harun Alr-rashid, mengangkat Abu ubaid sebagai Qadi (
hakim) di Tarsus hingga tahun 210 H. Setelah itu, penulis kitab al Amwal ini
tinggal di Baghdad selama 10 tahun. Pada tahun 219 H, setelah berhaji, ia
menetap di Makkah sampai wafatnya. Ia meninggal pada tahun 224 H.[1]
B.
Latar Belakang Kehidupan dan Corak Pemikiran
Abu
ubaid merupakan seorang ahli hadis
(muhaddits) dan ahli fiqh (fuqahah) terkemuka di masa hidupnya. Selama menjabat
Qadi di Tarsus, ia sering menangani berbagai kasus pertaahanan dan perpajakan
serta menyelesaikannya dengan sangat baik. Karena sering terjadi pengutipan
kata-kata Amr dalam kitab al Amwal, tampaknya, pemikiran-pemikiran Abu Ubai di
pengaruhi oleh Abu Amr Abdurrahman ibn Amar Al-Awza’i, serta ulama-ulama Surya
lainnya semasa ia menjadi qadi di Tarsus. Kemungkinan ini, antara lain, dapat
di telusuri dari pengamatan yang dilakukan Abu Ubaid terhadap permasalah
militer, politik dan fiskal yang dihadapi pemerintah didaerah
Tarsus. Dalam hal ini, Abu Ubaid tampaknya lebih tertuju pada
pemasalahan yang berkaitan dengan standar etika politik suatu pemerintahan dari
pada teknik efisiensi pengeloaanya.
Filosofi yang dikembangkan Abu Ubaid bukan merupakan jawaban
terhadap berbagai permasalahan sosial, politik dan ekonomi yang diimplementasikan melalui kebijakan-kebijakan
praktis, tetapi hanya merupakan sebuah pendekatan yang bersifat profesional dan
teknokrat yang bersandar kepada kemampuan teknis. Berkat pengetahuan dan
wawasanya yang begitu luas dalam berbagai bidang ilmu bebrapa ulama Syafi’iyah
dan Hanabila mengklaim bahwa Abu Ubaid berasal dari mazhab mereka, walaupun
fakta-fakta menunjukan bahwa Abu Ubaid adalah seorang fuqahah yang independen. [2]
C.
Pemikiran Abu Ubaid Tentang ekonomi
1.
Peranan
Negara Dalam Perekonomian
Pemikiran
Abu Ubaid yang tertuang dalam kitab Al Amwal dalam bahasan yang petama adalah
peranan negara dalam perekomomian yang
mengulas tentang hak negara atas rakyat dan hak rakyat atas negara, diama
analisis yang digunakan beliau merujuk pada kaidah hadis-hadis yang berkaitan
dengan pemerintahan. Hasil dari implementasi dari anaslis itu direalisakan
dalam kaidah kontrak kekayaan bagi seluruh kaum muslimin.
Unsur-unsur kontrak itu meliputi:
1)
Azaz
peneloaan harta berdasarkan atas ketakwaan kepada Allah Swt
2)
Keberadaan
kekayaan pada komunitas kaum muslimin merupakan tanggung jawab seluruhnya dan kepala negara berhak
menggunakannya demi kepentingan seluruh kaum muslimin.
3)
Setiap
perbuatan dihadapkan pada tanggung jawab, pemerintah harus menjaga keamanan,
meningkatkan kesejahteraan melingdungi ha-hak rakyat mengatur kekayaan publik
dan menjamin terpeliharanya maqasit syariah.[3]
Abu Ubaid menjadikan keadilan sebagai prinsip dasar dalam misi
kekalifahan. Diriwayatkan dari imam Ali ra.”Keadialan adalah suatu yang hak dan
pemerintah wajib menegakan hukum sesuai dengan yang Allah syariatkan dan
menjalan kan amanat, ketika pemerintah melakukan hal tersebut wajib bagi rakyat mendengar, mentaati
dan memenuhi panggilan negara dan pemerintah”.
Andil negara begitu besar dalam perekonomian karena tugas negara
adalah meneegakan kehidupan sosial
berdasarkan nilai-nilai keadilan yang disyariatkan seperti penerapan
zakat dapat mengikis kesenjangan sosial dan menumbuhkan kepedulian sosial. Dan
dengan mengatur administrasi keuangan negara seefektif mungkin sehingga
penyediaan pokok, pasilitas umum, distribusi pendapatan dapat menjamin
kemslahatan umat sehingga terselenggara kegiatan ekonomi yang berkeadilan.
Diamana sasaran beliau adalah legimitasi dari sosio-politik-ekonomi yang stabil
dan adil.
2.
Sumber
Penerimaan Keuangan Publik
Kitab Al-Amwal Abu Ubaid secara khusus memusatkan
perhatian sekitar keuangan publik, analisis yang beliau titik beratkan adalah
pada praktek yang dilakukan rasululllah, kulafahurasyidin, terutama Umar bin Khattab
dan Umar bin Abdul Azis sebagai contoh ideal dalam pengelolaan keuangan publik
institusi yang mengelola disebut baitul mall. Mengenai hal ini akan dibahas
lebih mendalam, namun yang perlu diketahui bahwa dalam kitab Al-Amwal banyak
harta yang serahkan kepada rasulullah yang
berasal dari kaum musrikin:[4]
1)
Fa’al
yaitu berupa harta benda dan tanah yang mereka serahkan tanpa melaui
peperangan, inilah yang menjadikan landasannya yaitu firman Allan Q.S AL-Hasyr
:
!$tBur uä!$sùr& ª!$# 4’n?tã ¾Ï&Î!qß™u‘ öNåk÷]ÏB !$yJsù óOçFøÿy_÷rr& Ïmø‹n=tã ô`ÏB 9@ø‹yz Ÿwur 7U%x.Í‘ £`Å3»s9ur ©!$# äÝÏk=|¡ç„ ¼ã&s#ߙ①4’n?tã `tB âä!$t±o„ 4 ª!$#ur 4’n?tã Èe@à2 &äóÓx« փωs% ÇÏÈ
“Dan apa saja harta rampasan (fai-i) yang
diberikan Allah kepada RasulNya (dari harta benda) mereka, Maka untuk
mendapatkan itu kamu tidak mengerahkan seekor kudapun dan (tidak pula) seekor
untapun, tetapi Allah yang memberikan kekuasaan kepada RasulNya terhadap apa
saja yang dikehendakiNya. dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.
2)
Harta
shafi yang Rasulullah Saw dipilih dari
ghadimah yang diperole kaum muslimin sebelum harta itu dibagikan.
Sebagaimana riwayat Ibnu Abbas dari Rasulullah Saw “berikanlah dari harta
ghadimah bagian Rasulullah dan Shafi”.
3)
Harta
1/5 dari ghadimah yaang telah dibagi. Menurut hadis yang diriwayatkan dari
Abi‘aliyah, ia berkata:”Rasulullah Saw mengumpulka ghadimah dan beliau dibagi,
ketika ada sesuatu yang jatuh Nabi menempatkannya
bagian untuk ka’bah bagian untuk baitullah kemudian membagi 1/5, untuk nabi 1
bagian, ahli kerabat 1 bagian, anak yatim 1 bagian, orang miskin 1 bagian, dan
Ibnu Sabil 1 bagian, Abu’aliyah berkata yang nabi jadikan 1 bagian untuk ka’bah
adalah bagian Allah. Namun yang perlu diketahui bahwa sebagaimana menurut
taqwil Umar bin Khattab ada tiga ahrta yang masuk dalam keuangan publik yaitu:
a.
Shadaqah/zaakat
dalam hal ini, shaddaqah wajib atau yang disebut zakat harta seperti zakat mas,
perniagaan,unta, sapi, kambing, bijia dan buah-buahan. Diamana zakat ini
dialokasikan untuk delapan golongan yang Allah sebutkan dalam Al-Qur’an, tidak
seoranpun berhak atas zakat kecuali mereka dan merupakan kewajiban pada setiap
harta apbila mencapai nisab dan haul
untuk dikeluarkan zakatnya. Mengenai zakat wajib ini, mulai di syariatkan pada
tahun ke 2 Hijriah, ayat-ayat alqur’an yang berhubungan dengan hal ini seperti:
(#qßJŠÏ%r&ur no4qn=¢Á9$# (#qè?#uäur no4qx.¨“9$# (#qãèx.ö‘$#ur yìtB tûüÏèÏ.º§9$# ÇÍÌÈ
“Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan
ruku'lah beserta orang-orang yang ruku'.”
b.
Fa’l
Fa’l
menurut bahasa berarti sesuatu yang diambil dari harta alih kitab dengan cara
damai tanpa peperangan atau setelah peperangan berakhir. Harta fa’al diguankan untuk
kepentingan pemerintahan dan kejahteraan umat. Bagian-bagial fa’l adalah:
· Kharaj
Kharaj menurut bahasa yaitu penghasilan atau tanah taklukan kaum
muslimin dengan jalan damai yang pemiliknya menawarkan untuk mengolah tanah itu
sebagai pengganti sewa tanah dan bersedia memberikan sebagian dari hasil
produksinya. Jumlah kharajnya setengah dari hasil produksi.
· Jizyah
jizyah adalah pajak tahunan yang wajib dibayarkan oleh seorang non
muslim khusunya ahli kitab, untuk jaminan perlindungan jiwa, properti, ibadah
dan harta merdeka atau budak yang tinggal diwilayah pemerintahn islam
· Khumus
Khumus dalam pembahasan
khumus Abu Ubaid menyebutkan bahwa harta yang terkena khumus, pertama, beliau
menafsirkan itu ghanimah, sesuai dengan firman Allah surat Al-Anfal ayat 41.
Kedua, khumus dari harta yang diperoleh melaui penambangan dan harta yang
terpendam atau rikaz. Ketiga, khumus pada harta yang dipendam.
· ‘Usyr
Al-‘usyr merupakan jama’ dari kata ‘usyrun yaitu satu bagian dari
sepuluh. Sedangkan menurut fuqoha terdapat dua pengertian, pertama, ‘usyr zakat
yaitu yang di ambil pada zakat tanaman dan buah-buahan (Q.S al-An’am ; 141).
Kedua, usyr adalah sesuatu yang diambil
dari dari harta kafir dzimmi yang melintas untuk perniagaan.
c.
Pembelanjaan
Penerimaan Keuangan Publik
Dalam masalah distribusi pendapatan memang erat kaitannya antara
penerimaan dan pembelanjaan/pengolakasian untuk kepentingan publik begitu pula
Abu Ubaid dalam kitab al-Amwal-nya begitu jelas dan transparan dalam membahas
masalah keuangan publik yang terkait sekitar masalah penerimaan dan
pembelanjaan.
3.
Hukum
Pertanahan
Pemikiran
Abu Ubaid mengenai hubungan antara rakyat (warga negara) dan negara demi
stabilitas kesejahteraan rakyat dan negara selain masalah administrasi keuangan
publik yang terdapat dalam kitab al-Amwal, beliau juga berbicara mengenai hukum
pertanahan.
Diamana
hukum pertanahan ini mulai setelah masa hijrah ke madinah, karena perkembangan
islam yang cukup pesat dari masa
Rasulullah sampai khulafarasyidin ketika perluasan wilayah dalam dunia islam,
maka menuntut suatu permasalahan baru dalam hukum islam berkaitan dalam hukum
islam berkaitan dengan tanah yang berada yang
berada pada wilayah taklukan tersebut. Untuk menyelesaikan hal tersebut,
menuntut pengaturan yang baru dan lebih baik.
Mengenai
permasalahan wilayah taklukan, rujukan utama para ulama adalah yaitu sejak
zaman Rasulullah dengan menjadikan tanah Khaibar sebagai tanah kharaj, hal ini merupakan tonggak utama
pengaturan tanah dalam negara islam untuk kepentingan publik. Berikut adalah
hukum-hukum yang dikemukakan oleh Abu Ubaid.
· Iqtha
Pengertian iqtha’ ialah tanah yang diberikan kepala negara kepada
seorang rakyatnya untuk menguasai sebidang tanah dengan mengabaikan yang
lainnya. Dalam kitab al-Amwal, Abu Ubaid menafsirkan tanah biasa yang dijadikan
iqtha’ dan yang tidak bisa.
· Ihya al-Mahwat
Al-Mawat ialah tanah yang mati, tandus, tidak terurus, tidak ada
pemiliknya dan tidak dimanfaatkan. Sedangkan maksud ihya al-Mahwat adalah
membuka kembali lahan yang mati itu dengan membersihkannya, mengairi,
mendirikan bangunan dan menanamkan kembali benih-benih kehidupan pada lahan
tersebut.
·
Hima
Dalam hal ini dinamakan hima adalah perlindungan, menurut Abu Ubaid
adalah tempat dari tanah yang tidak berpenduduk yang dilindungi kepala negara
untuk tempat pengembala hewan ternak. Diamana tahan hima ini adalah tanah
yang mendapt perlindungan dari pemerintah, namun
dimanfaatkan oleh seluruh umat hasil yang ada pada tanah tersebut seperti air,
rumput dan tanaman, hal ini sesuai dengan sabda Rasulullah, “orang muslim
adalah saudara bagi muslim yang lainnya, yang memberi mereka keluasan air dan
rumput”.
D.
Fungsi Uang
Menurut Al-Ghazali dan Ibn Khaldun, definisi
uang adalah apa yang digunakan manusia sebagai standart ukuran nilai harga,
media transaksi pertukaran, dan media simpanan. [5]
Abû
‘Ubaid mengakui adanya dua fungsi uang yang tidak mempunyai nilai intrinsik
sebagai standar dari nilai pertukaran (standard of exchange value) dan
sebagai media pertukaran (medium of exchange). Dalam hal ini ia
menyatakan:
Ada hal
yang tidak diragukan lagi bahwa emas dan perak tidak layak untuk apa pun
kecuali keduannya menjadi harga dari barang dan jasa. Keuntungan yang paling
tinggi yang dapat diperoleh dari kedua benda ini adalah penggunaan untuk
membeli sesuatu (infaq)
Pernyataan
abu ubaid tersebut menunjukkan bahwa ia mendukung teori konvensional mengenai
uang logam, walaupun sama sekali tidak menjelaskan mengapa emas dan perak tidak
layak untuk apa pun kecuali keduannya menjadi harga dari barang dan jasa.
Tampak jelas bahwa pendekatan ini menunjukkan dukungan Abû ‘Ubaid terhadap
teori ekonomi mengenai yang logam, ia merujuk pada kegunaan umum dan relatif
konstannya nilai emas dan perak dibanding dengan komoditas yang lain. Jika
kedua benda tersebut digunakan sebagian komoditas maka nilainya akan dapat
berubah-ubah pula karena dalam hal tersebut keduanya akan memainkan peran yang
berbeda sebagai barang yang harus dinilai atau sebagai standar penilaian dari
barang lainnya. Walaupun Abû ‘Ubaid tidak menyebutkan fungsi penyimpanan
nilai (store of value) dari emas dan perak, ia secara implisit
mengakui adanya fungsi tersebut ketika membahas tentang jumlah tabungan minimum
tahunan yang wajib terkena zakat.[6]
[1] Karim Azwar
Adiwarman, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, (Jakarta:PT RajaGrafindo Persada, 2014)h. 264
[3]Amalia Euis, Sejarah
Pemikiran Ekonomi Islam,(Depok:Gramata Publishing, 2010)h. 145
[4] ibid.,
h. 146
[5]
Karim
Azwar Adiwarman, Ekonomi Makro Islami, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2007) hal. 80
Komentar
Posting Komentar