Makalah Civic Education (HAK ASASI MANUSIA)

ASSALAMU'ALAIKUM WR.WB



MAKALAH CIVIC EDUCATION
HAK ASASI MANUSIA



DOSEN PENGAMPU:
JT Pareke

DI SUSUN OLEH:
               Mekisa Putra (1516140131)


PERBANKAN SYARIAH
EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI BENGKULU
2016

KATA PENGANTAR
Puji syukur kita penjatkan kehadirat Allah SWT, yang atas rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan makalah yang berjudul “HAK ASASI MANUSIA”. Penulisan makalah ini merupakan salah satu tugas yang diberikan dalam mata kuliah CIVIC EDUCATION di Institut Agama Islam Negeri Bengkulu.
Dalam Penulisan makalah ini penulis merasa masih banyak kekurangan baik pada teknis penulisan maupun materi, mengingat akan kemampuan yang penulis miliki. Untuk itu, kritik dan saran dari semua pihak sangat penulis harapkan demi penyempurnaan pembuatan makalah ini.
Dalam penulisan makalah ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang kepada pihak-pihak yang membantu dalam menyelesaikan makalah ini, khususnya kepada Dosen kami yang telah memberikan tugas dan petunjuk kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas ini.

Bengkulu, 2016


Penulis






DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR...................................................................................... i
DAFTAR ISI.................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN
A.  Latar Belakang...............................................................................................4
B.  Rumusan Masalah......................................................................................... 5
C.  Tujuan Penulisan............................................................................................5
BAB II PEMBAHASAN
A.  Pengertian Hak Asasi Manusia....................................................................... 6
B.  Perkembangan HAM...................................................................................... 7
C.  Pelanggaraan  dan  Pengadilan HAM.........................................................    18
D.  Islam dan HAM............................................................................................ 20

BAB III PENUTUP
KESIMPULAN








BAB I
PENDAHULUAN

A.  Latar Belakang
Hak asasi manusia adalah hak dasar yang dimiliki manusia sejak manusia itu dilahirkan. Hak asasi dapat dirumuskan sebagai hak yang melekat dengan kodrat kita sebagai manusia yang bila tidak ada hak tersebut, mustahil kita dapat hidup sebagai manusia. Hak ini dimiliki oleh manusia semata – mata karena ia manusia, bukan karena pemberian masyarakat atau pemberian negara. Maka hak asasi manusia itu tidak tergantung dari pengakuan manusia lain, masyarakat lain, atau Negara lain.
Hak asasi diperoleh manusia dari Penciptanya, yaitu Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan hak yang tidak dapat diabaikan. Sebagai manusia, ia makhluk Tuhan yang mempunyai martabat yang tinggi. Hak asasi manusia ada dan melekat pada setiap manusia. Oleh karena itu, bersifat universal, artinya berlaku di mana saja dan untuk siapa saja dan tidak dapat diambil oleh siapapun. Hak ini dibutuhkan manusia selain untuk melindungi diri dan martabat kemanusiaanya juga digunakan sebagai landasan moral dalam bergaul atau berhubungan dengan sesama manusia.
Pada setiap hak melekat kewajiban. Karena itu,selain ada hak asasi manusia, ada juga kewajiban asasi manusia, yaitu kewajiban yang harus dilaksanakan demi terlaksana atau tegaknya hak asasi manusia (HAM). Dalam menggunakan Hak Asasi Manusia, kita wajib untuk memperhatikan, menghormati, dan menghargai hak asasi yang juga dimiliki oleh orang lain.
Kesadaran akan hak asasi manusia , harga diri , harkat dan martabat kemanusiaannya, diawali sejak manusia ada di muka bumi. Hal itu disebabkan oleh hak-hak kemanusiaan yang sudah ada sejak manusia itu dilahirkan dan merupakan hak kodrati yang melekat pada diri manusia. Sejarah mencatat berbagai peristiwa besar di dunia ini sebagai suatu usaha untuk menegakkan hak asasi manusia.

B.  Rumusan Masalah
Pada masalah ini penulis akan membahas masalah:
1.      Pengertian Hak Asasi Manusia
2.      Perkembangan HAM
3.      Pelanggaran dan Pengadilan HAM
4.      HAM Dalam Tinjauan Islam

C.  Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:
1.      Untuk Mengetahui Arti Hak Asasi Manusia
2.      Untuk Mengetahui Perkembangan HAM di Indonesia
3.      Untuk Menetahui Pelanggaran dan Pengadilan HAM
4.      Untuk Mengetahui HAM Dalam Tinjauan Islam


BAB  II
PEMBAHASAN

A.  Pengertian HAM
            Menurut Teaching Human Rights yang diterbitkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), hak asasi manusia adalah hak-hak yang melekat pada setiap manusia, yang tanpanya manusia mustahil dapat hidup sebagai manusia. Hak hidup misalnya, adalah klaim untuk memperoleh dan melakukan segala sesuatu yang dapat memmbuat sesorang tetap hidup, karena tanpa hak tersebut eksistensinya  sebagai  manusia akan hilang.
                        Menurut John Locke, hak asasi  manusia adalah hak-hak yang diberikan langsung oleh Tuhan Yang Maha Pencipta sebagai sesuatu yang bersifat kodrati. Karena  sifatnya yang demikian maka tidak ada kuasa apapun di dunia yang dapaat mencabut hak asasi setiap manusia. Ia adalah hak dasar setiap manusia yang dibaea sejak lahir sebagai anugerah Tuhan Yang Mha Esa, buan pemberian manusia atau lembaga kekuasaan.[1]
            Hak asasi manusia ini tertuang dalam Undang-Undan (UU) Nomor 93 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.  Dalam salah satu bunyi pasalnya (pasal 1) secara tersurat dijelaskan” Hak Asasi Manusia (HAM) adalah seperangkat hak yang  melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan yang Maha Esa dan meruupakan anugerah-nya yang wajib dihormati, diunjung tinggi, dan dilindungi oleh Negara, hokum, pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindugan harkat dan martabat manusia”.[2]
            Secara umum  Ham atau Hak Asasi Manusia adalah hak yang melekat pada diri setiap manusia sejak awal dilahirkan yang berlaku seumur hidup dan tidak dapat diganggu gugat siapa pun. Sebagai warga negara yang baik kita mesti   menjunjung tinggi nilai hak azasi manusia tanpa membeda-bedakan status, golongan, keturunan, jabatan, dan lain sebagainya.[3]
B.  Perkembangan HAM di Indonesia
            Wacana HAM di Indonesia telah berlangsung seiring denagn berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia. Secara garis besar perkembangan pemikiran HAM di Indonesia dapat dibagi  kedalam dua periode: sebelum kemerdekaan  (1908-1945) dan sesudan kemedekaan  (1945-sekarang).
a.      Periode sebelum kemerdekaan (1908-1945)
            Pemikiran HAM dalam periode sebelum kemerdekaan dapat dijumpai dalam  sejarah organisasi pergerakann nasional  seperti Boedi Oetomo (1908), sarekat islam (1911), Indische Partji  (1912), Partai Komunis Indonesia (1920), Perhimpunan Indonesia (1927). Lahirnya organisasi pergerakan nasional itu tidak bias dilepaskan dari sejarah pelanggaran HAM yang dilakukan oleh penguasa koloial, penajajahan dan pemerasan hak-hak masyarakat terjajah. Puncak perdebatan HAM yang dilontarkan oleh paratokoh pergerakan nasiaonal, seperti Soekarno, Agus salim, Mohammad Yamin, KH. Mas Mansur, KH. Wachid Hasyim, Mr. Maramis  Natsir, terjadi dalam sidang-siadang BPUPKI (Badan  Persiapan Usaha-Usaha Kemerdekaan Indonesia). Dalam sidang-sidang BPUPKI tersebut para tokoh nasional berdebat dan berunding merumuskan dasar-dasar ketatanegaraan dan kelengkapan negara yang menjamin hak dan kewajiban negara dan warga negara  dalam negara yang hendak diproklamirkan.
            Dalam sejarah pemikiran HAM di  Indonesia, Boedi Oetomo merupakan organisai penggerakan nasioanl pertama yang menyuarakan pendapaat memalui petisi-petisi yang ditujukan kepada pemerintah kolonial maupun lewat tulisan disurat  kabar. Inti dari perjuangan Boedi Oetomo adalah perjuangan akan kebebasan berserikat dan mengeluarkan pendapat melaui organisasi massa dan konsep perwakilan rakyat. Searah dengan wacana HAM yang  diperjuangkan oleh Boedi Oetomo, para took penghimpun Indonesia seperti Mohammad Hatta, Nazir Pomantjak, Ahmad Soebardjo, A. Maramis, lebih menekankan perjuangan HAM melalui wacana hak menentukan nasb sendiri (the right of self determination) masyarakat terjajah.[4]
            Sedangkan Kalangan tokoh pergerakan Sarekat Islam , Tjoko Aminoto, H. Samanhudi, Agus Salim, menyerukan pentingknya usaha-usaha untuk memperoleh penghidupan yang layak dan bebas dari penindasan dan diskiriminasi rasial yang dilkukan pemerintah colonial. Berbeda dengan pemikiran HAM dikalangan tokoh nasional sekuler, para tokoh SI mendasari perjuangan pergerakannya pada prinsip-prinsip HAM dalam islam.
b.      Periode setelah kemerdekaan (1945-sekarang)
            Perdebatan tentang HAM terus berlanjut sampai periode paska kemerdekaan Indonesia:  1945-1950, 1950-1959, 1959-1998, dan periode HAM Indonesia kontemporer (paska1998).[5]
1.    Periode 1945-1950
Pemikiran HAM  pada periode awal paska kemerdekaan pada  wacana ham merdeka  ( self determination ), hak kebebasan untuk berserikat melalui organisasi politik yang didirikan serta hak kebebasan untuk menyampaikan pendapat terutama di parlemen. Sepanjang periode ini, wacana HAM masih dapat dicirikan pada:
a.    Bidang sispil dan politik, melalui:
-       UUD 1945 (Pembukaan, Pasal 26, Pasal 27, Pasal 28, Pasal 29, Pasal 30, Penjelasan Pasal 24 dan 25)
-       Maklumat Pemerintah 1 November 1945
-       Maklumat Pemerintah 3 November 1945
-       Mkalumat Pemerintah 14 November 1945
-       KRIS, Pasal 7-33
-       KUHP Pasal 99
2.   Periode1950-1959
Periode 1950-1959 dikenal dengan masa demokrasi perlementer. Sejarah pemikiran HAM pada masa ini dicatat sebagai masa yang sangat kondusif bagi  sejarah perjalan HAM di Indonesia. Sejalan dengan prinsip demokrasi liberal dimasa itu, suasana kebebasan mendapat tempat dalam kehidupan politik nasional. Menurut catatan Bagir Manan, masa gemilang sejaran HAM di Indonesia pada masa ini tercermin pada lima  indicator HAM:
1.    Munculnya partai-partai politik denagn beragam ideology
2.    Adanya kebebasan pers
3.    Pelaksanaan pemilihan umum secara  aman, bebas dan demokratis
4.    Kontrol perlemenatas eksekutif.
Perdebatan HAM melaui mimbar parlemen (Konstituante) berlangsung secara bebas dan demokratis. Berbagai partai politik yang berbeda haluan dan ideology  sepakat tentang subtansi HAM universal dan pentingnya HAM masuk dalam UUD dan bab tersendiri. Bahkan diusulkan supaya kemerdekaan HAM mendahului bab-bab UUD.
Tercatat pada periode ini Indonesia meratifikasi 2 konvensi intenasioal HAM yaitu:
-        Empat konvensi Genera 1949 dengan UU No. 59 Tahun 1958 yang mencakup perlindungan hak bagi korban perang, tawanan perang dan perlindungan sipil diwaktu perang
-       Konvensi tentang Hak Politik Perempuan dengan  UU. 68 Tahun  1958 yang mencakup  hak perempuan untuk memilih dan dipilh tanpa perlakuan diskriminasi, serta hak perempuan untuk menempati jabatan publik.[6]
3.    Periode 1959-1966
Periode ini merupakan masa masa berakhirnya demokrasi liberal, digantikan oleh system demokrasi  terpimpin yang berpusat pada kekuasaan Presiden Soekarno. Demokrasi terpimpin (guilded democracy) tidak lain sebagai bentuk penolakan Presiden terhadap sistem demokrasi perlementer yang dinilainya  sebagai produk Barat. Menurut Soekarno, demokrasi parlementer tidak sesuai dengan karakter bangsa Indonesia yang  telah memiliki tradisinya sendiri dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.[7]
Melalui sistem demokrasi terpimpin kekuasaan terpusat ditangan Presiden. Presiden tidak dapat dikontrol oleh parlemen, sebaliknya perlemen dikendalikan oleh presiden. Kekuasaan Presiden Soekarno bersifat absolute, bahkan dinobatka sebagai presiden RI seumur hidup. Akibat langsung dari model pemerintahan yang sangat individual ini adalah pemasungan hak-hak asasi warga negara. Semua pandangan politik masyarakat diarahkan harus sejalan dengan kebijaakan pemerintah yang bersifat otoriter. Dalam dunia  seni, misalnya, atas nama revolusi pemerintahan Presiden Soekarno telah menjadikan Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) yang berafiliasi kepada KPI sebagai satu-satu nya lembaga seni yang diakui pemerintah. Sebaliknya, lembaga selain Lekra dianggap anti pemerintah atau kontra revolusi. PKI sebagai komponen politik yang menganut prinsip dan ajaran Sosialisme sekunder mendapat dukungan politik dari Presiden Soekarno. Sebaliknya presiden soekarno tidak bias menafikan keberadaan PKI sebagai partai politik yang  memiliki masa yang besar dengan dukungan organisai yang modern dan disiplin. Sekalipun  melanggar prinsip-prinsip HAM, Presiden Soekarno  terpaksa harus memperhitunkan keberadaan PKI.
Kedekatan Presiden Soekarno dengan PKI menimbulkan gejolak politik yang  ditandai oleh ketidaksukaan kelompok militer (TNI) dan elemen-elemen politik dari kalangan nasonalis dan kelompok agama, khusunya Islam. Akhir dari kediktatoran pemerintah Presiden Soekarno  adalah berakhinya pemerintah melalui kudeta berdarah yang dikenal dengan peritiwa Garakan 30  September 1965. Gerakan klimaks dari perseteruan politik antara PKI dan TNI, khususnya angkatan darat.Akhir pemerintah Presiden Soekarno sekligus sebagai awal naiknya pemerintah Presiden Soeharto yang dikenal dengan sebutan era Orde Baru. Iamenggantikan Presiden Soekarno melaui surat pemerintah sebelas Maret (Supersema).[8]
4.   Periode 1966-1998
Pada mulanya, lahirnya Orde Baru menjanjikan harapan baru bagi penegakan HAM  di Indonesia. Berbagai seminar tentang HAM dilakukan Orde Baru.  Namun pada kenyataanya, Orde Baru telah menorehkan sejarah hitam pelangaran HAM di Indonesia sepanjang sejarah Indonesia modern. Janji Orde Baru dalam penegakan HAM ditunjukan melalui beragam seminar tentang HAM. Pada tahun 1967 Orde  Baru merekomendasikan gagasan tentang  perlunya pembentukan pengadilan HAM, pembentukan komisi dan pengadilan HAM untuk wilayah Asia. Gagasan ini ditindak lanjuti dengan seminar Nasional Hukum II 1968 yang merekomendasikan prlunya hak uji materil (judicial review) dilakukan guna melindungi HAM. Hak uji materil tersebut dilakukan dalam rangka melindungi kebebasan dasar manusia. Dalam rangka pelaksanaan TAP MPRS No. XIV/MPRS1966, MPRS melaui panitia Ad Hoc IV telah merumuskan piagam tentang Hak-hak Asasi Manusia dan Hak-hak serta Kewajiban Negara.
Janji-jani Orde Baru tentang pelaksanaan HAM di Indonesia mengalami kemunduran amat pesat sejak awal 1970-an. Setelah mendapatkan mandate konstitusional dari sidang MPRS, pemerintah Orde Baru mulai menunjukan watak aslinya sebagai kekuasaan yang anti HAM Orde Baru sesungguhnya tidak berbeda dengan argrumen yang pernah dikemukakan Presiden Soekarno ketiak menolak prinsip dan praktek demokrasi parlementer, yakni sikap apologis dengan cara mempertentangkan demokrasi dan prinsip HAM yang lahir di Barat dengan prinsip-prinsip lokal Indonesia. HAM dan demokrasi dinilai oleh Orde Baru yang militeristik  sebagai produk  Barat yang individualistic dan bertentangan dengan prinsip gotong royong dan kekeluargaan yang d anut oleh bangsa Indonesia. Diantara butir penolakan pemerintah Orde Baru terhadap konsep universal HAM adalah:
a.    HAM adalah produk pemikiran Barat yang tidak sesuai dengan nilai-nilai luhur budaya bangsa yang tercermin dalam Pancasila.
b.    Bangsa Indonesia sudah terlebih dahulu mengenal HAM sebagaiman tertuang dalam rumusan UUD 1945 yang lahir lebih dahulu dibandingkan dengan Deklarasi Universal HAM.[9]
c.    Isu HAM seringkali digunakan oleh negara-negara Barat untuk memojokan negara yang sedang berkembang seperti indonesia.
Apa yang dikemukakan oleh pemerintah Orde Baru tidak seluruhnya keliru, dan tidak pula semuanya benar. Sikap apriori Orde Baru terhadap HAM Barat searah dengan pelangaran HAM yang  dilakukannya. Pelanggaran HAM Orde Baru ditilik dari kebijakan politik Orba yangb bersifat sentralistik dan penumpasan gerakan politik yang berbeda dengan pemerintah presiden soeharto. Sepanjang pemerintah Presiden Suharto tidak dikenal istilah partai oposisi, bahkan sejumlah gerakan yang berlawanan dengan kebijakan pemerintah dinilai sebagai anti pembangunan bahkan anti Pancasila. Melalui pendekatan keamanan (security approach) dengan cara-cara kekerasan yang berlawanan dengan prisip-prinsip HAM, pemerintah Orba tidak segan-segan menmpas segala bentuk aspirasi masyarakat. kasus pelangaaran HAM Tanjung Priok, Kedung Ombo, Lampung, Aceh merupakan segelintir daftar pelanggaran HAM yang dilakukan oleh rezim Orde  Baru.
Ditengah kuatnya peran negara Orde Baru, suara yang memperjuangkan penegakan HAM dilakukan kalangan organisasi non pemerintah (organisasi social kemasyarakatan) atau Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Upaya penegakan HAM oleh kelompok-kelompok non pemerintah membuahkan hasil yang mengembirakan di awal 90-an. Kuatnya tuntutan penegakan HAM dari kalangan masyarakat merubah pendirian Orba untuk bersikap akomodatif trhadap tuntutan HAM yang disuarakan masyarakat.[10]
Sikap akomodatif Orba  ditunjukan dengan dukungan pemerintah meratifikasi tiga konvensi HAM: Konvensi tentang penghapusan segala bentuk Diskriminasi terhadap perempuan melalui UU No. 7 tahun 1984 konvensi Anti-Apartheid dalam Olah Raga melaui UU No. 48 tahun 1993, dan konvensi Hak Anak melaui keppres No. 36 tahun 1990. Namun demikian, sikap akomodotif pemerintah Orba terhadap tuntutan HAM oleh masyarakat belum sepenuhnya diserasikan dengan pelaksaan HAM secara murni dan konsekuen masih jauh dari harapan masyarakat. Akumulasi pelangaaran HAM negara semasa periode ini tercermin dengan tuntutan mundur Presiden Soeharto dari kursi kepresidenan yang disuarakan oleh kelompok reformis dan mahasiswa pada tahun 1998. Isu pelanggaran HAM dan penyalahgunaan kekuasaan mewarnai tuntutan reformasi yang  disuarankan pertama kali oleh Dr. Amin Rais, tokoh intelektual Muslim Indonesia yang sangat kritis terhadap kebijakan pemerintah Orde  Baru.[11]
5.   Periode paska Orde Baru
Tahun  1998 adalah era paling  penting dalam sejrah HAM Indonesia. Lengsernya yampuk kekuasaan Orde Baru sekaligus menandai berakhirnya rezim militer di Indonesia dan datangnya  era baru demokrasi dan HAM, setelah tiga puluh tahun lebih terpasung dibawag rezim otoriter Orde Baru. Pada tahun ini Presiden Soeharto digantikan oleh BJ. Habibie yang kala itu  menjabat sebagai wakil presiden RI. Tuntutan para tokoh reformasi dan mahasiswa akan pergantian kekuasaan otoriter Orde Baru dengan kekuasaan yang berlangsung secara demokratis dan tuntutanpenegakan HAM menjadikan era ini dikenal dengan Era Reformasi. Menyusul berakhirnya pemerintahan Orde Baru, pengkajian terhadap kebijakan pemerintah Orde Baru yang bertentangan dengan prinsip-prinsip HAM mulai dilakukan kelompok reformis dengan membuat perundang undangan baru yang menjunjung prinsip-prinsip  HAM  dalam kehidupan ketatanegaraan dan kemasyarakatan. Tak kalah penting dari perubahan perundangan, pemerintah Era Reformasi juga melakukan ratifikasi terhadap instrument HAM internasional untuk mendukung pelaksaan HAM di Indonesia.
Pada masa pemerintahan Habibie misalnya, perhatian pemerintah terhadap pelaksanaan HAM mengalami perkembangan yang sangat signifikan.  Lahirnya TAP MPR No. XIVII/MPR/1998 tentang HAM merupakan salah satu indicator keseriusan pemerintahan era reformasi. Sejumlah konvensi HAM juga diratifikasi: konvensi ILO No. 87 tenntang kebebasan berserikat dan perlindungan hak untuk untuk berorganisasi dengan kepres No. 83/1998;  konvensi menentang penyiksaan dan perlakuan kejam lainya dengan UU No. 5/1999; konvensi penghapusan segala bentuk diskriminasi rasial dengan UU. 29/1999; konvensi ILO No. 111 tentang diskriminasi dalam pekerjaan dan jabatan dengan UU No. 21/1999; konvensi ILO No. 138 tentang usia minimum untuk diperbolehkan bekerja dengan UU No. 20/1999.[12]
Komitmen Pemerintah terhadap Penegakan HAM juga ditunjukan dengan pengesahan UU  No. 39 Tahun 1999 tentang HAM, pembentukan kantor Menteri Negara Urusan HAM pada tahun 1999 yang kemudian digabungkan pada tahun 2000 dengan Departemen Hukum dan perundang-undangan menjadi Departemen hokum dan perundang-undangan menjadi departemen Kehakiman dan HAM, penambahn pasal-pasal khusus tentaang HAM  dalam Amandemen UUD 195 pada 2000, penerbitan inpres No. 9 Tahun 2000 tentang pengarusutaman Gender dalam pembangunan Nasional, pengesahan UU No. 26 Tahun 2000 tentang pengadilah HAM. Pada septenber 2001  Indonesia juga mendatangi dua protokol Hak Anak, yakni protokol yang terkait dengan larangan perdagangan, prostitusi, dan pornografi anak, serta protokol ysngg terkait dengan keterlibatan anak dalam konflik bersenjata. Menyusul kemudian, pada tahun 2002 pemerintah membuat pengesahan UU No. 23 tahu 2002 tentang perlindungan Anak, pengesahan UU No. 23 tahun  2004 tentang penhapusan kekerasan dalam  Rumah Tangga, penerbitan keppres No. 40 tahun 2004 tentang Rencana Aksi Nasional (RAN) HAM tahun 2004-2009.[13]
Secara operasional, beberapa bentuk HAM yang terdapat dalam UU Nomor 39 tahun 1999 tentang HAM sebagai berikut:
1.         Hak untuk hidup
2.         Hak berkeluarga dan melanjutkan keturuan
3.         Hak mengembangkan diri
4.         Hak memperoleh keadilan
5.         Hak atas kebebasan pribadi  
6.         Hak atas rasa aman
7.         Hak atas kesejahteraan
8.         Hak turut serta dalam pemerintahan
9.         Hak wanita
10.     Hak anak
C.  Pelangaran dan Pengadilan HAM
Pelanggaran HAM adalah setiap perbuatan seseorang atau kelompok orang termasuk aparat negara baik disengaja ataupun kelalaian yang secara hokum mengurangi, menghalangi, dan atau mencabut hak asasi manusia seseorang  atau  kelompok orang yang dijamin oleh Undang-undang ini dan tidak didapatkan, atau dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar, berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku  (UU No. 26/2000 tentang pengadilan HAM). Dengan demikian pelanggaran HAM merupakan tindakan pelanggaran kemanusiaan  baik dilakukan oleh individu maupun oleh institusi negara atau institusi lainnya terhadap hak asasi individu lain tanpa ada dasar atau alasan yuridis dan alas an rasional yang menjadi pijakannya.Pelanggaran HAM dikelmpokan pada dua bentuk yaitu, pelanggaran HAM berat dan pelanggaran HAM ringan. Pelanggaran HAM berat meliputi kejahatan Genosida dan kejahatan kemanusiaan (UU No. 26/2000 tentang pengadilan HAM).sedangkan bentuk pelanggaran HAM ringan selain dari kedua bentuk pelanggaran HAM  berat itu.[14]
Pelanggaran terhadap HAM dapat dilakukan baik oleh aparatur negara (state-actors) maupun bukan aparatur negara (non stste-actors) (UU No. 26/2000 tenatang pengadilan HAM). Karena itu penindakan terhadap pelanggaran hak asasi manusia tidak boleh hanya di tujukan terhadap aparatur negara, tetapi juga pelanngaran HAM tersebut dilakukan melalui proses peradilan HAM mulai dari penylidikan, penuntutan dan persidangan terhadap pelanggaran yang terjadi harus bersifat non-diskriminatif dan berkeadilan. Pengadilan HAM merupakan pengadilan khusus yang berada di lingkungan Pengadilan Umum.
Pelanggaran HAM dikelompokkan pada dua bentuk, yaitu: (1) pelanggaran HAM berat; dan (2) palanggaran HAM ringan. Pelanggaran HAM berat meliputi kejahatan genosida dan kejahatan kemanusiaan. Adapun, bentuk pelanggaran HAM ringan selain dari selain  dari keduabentuk pelanggaran HAM berat tersebut.[15]
Kejahatan genosida adalah setiap perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok bangsa, ras, kelompok etnis, dan agama.
Kejahatan kemanusiaan adalah suatu perbuatan yang dilakukan dengan serangan yang meluas dan sistematis.
Sebagai salah satu upaya untuk memenuhi rasa keadilan, maka pengadilan atas pelanggaran HAM kategori berat, seperti genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan diberlakukan atas retroaktif. Dengan demikian, pelanggaran HAM kategori berat dapat diadili dengan membentuk pengadilan HAM Ad Hoc. Pengadilan HAM Ad Hoc dibentuk atas usul Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dengan keputusan presiden dan berada di lingkungan pengadilan umum.
Pengadilan HAM berkedudukan di daerah tingkat I (provinsi) dan daerah tingkat II (kabupaten/kota) yang meliputi daerah hukum pengadilan umum yang bersangkutan. Pengadilan HAM bertugas dan berwenang memeriksa dan memutus perkara pelanggaran HAM yang berat. Pengadilan HAM berwenang juga memeriksa dan memutuskan perkara pelanggaran HAM oleh warga negara Indonesia yang berada dan dilakukan di luar batas teritorial wilayah Negara Republik Indonesia.[16]
D.  HAM Dalam Tinjauan Islam
Islam sebagai sebuah agama dengan ajarannya yang universal dan komprehensif meliputi akidah, ibadah, dan mu’amalat, yang masing-masing memuat ajaran tentang keimanan, dimensial ibadah memuat ajaran tentang mekanisme pengabdian manusia terhadap Allah dengan memuat ajaran tentang hubungan manusia dengan sesama manusia maupun dengan alam sekitar. Kesemua dimensi ajaran tersebut dilandasi oleh ketentuan-ketentuan yang disebut dengan istilah syari’at atau fikih. Dalam konteks syari’at dan fikih itulah terdapat ajaran tentang hak asasi manusia (HAM). Adanya ajaran tentang HAM  dalam islam.[17]
Hak asasi manusia dalam Islam tertuang secara jelas untuk kepentingan manusia, lewat syari’ah Islam yang diturunkan melalui wahyu. Menurut syari’ah, manusia adalah makhluk bebas yang mempunyai tugas dan tanggung jawab, dan karenanya ia juga mempunyai hak dan kebebasan. Dasarnya adalah keadilan yang ditegakkan atas dasar persamaan atau egaliter, tanpa pandang bulu. Artinya, tugas yang diemban tidak akan terwujud tanpa adanya kebebasan, sementara kebebasan secara eksistensial tidak terwujud tanpa adanya tanggung jawab itu sendiri. Sistem HAM Islam mengandung prinsip-prinsip dasar tentang persamaan, kebebasan dan penghormatan terhadap sesama manusia. Persamaan, artinya Islam memandang semua manusia sama dan mempunyai kedudukan yang sama, satu-satunya keunggulan yang dinikmati seorang manusia atas manusia lainya hanya ditentukan oleh tingkat ketakwaannya. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam Surat Al-Hujarat ayat 13, yang artinya sebagai berikut :“Hai manusia, sesungguhnya Kami ciptakan kamu dari laki-laki dan perempuan, dan Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kaum adalah yang paling takwa.
Pada dasarnya HAM dalam Islam terpusat pada lima hal pokok yang terangkum dalam al-dloruriyat al-khomsah atau yang disebut juga al-huquq al-insaniyah fi al-islam (hak-hak asasi manusia dalam Islam). Konsep ini mengandung lima hal pokok yang harus dijaga oleh setiap individu, yaitu hifdzu al-din (penghormatan atas kebebasan beragama), hifdzu al-mal (penghormatan atas harta benda),hifdzu al-nafs wa al-‘ird (penghormatan atas jiwa, hak hidup dan kehormatan individu) hifdzu al-‘aql(penghormatan atas kebebasan berpikir) dan hifdzu al-nasl(keharusan untuk menjaga keturunan). Kelima hal pokok inilah yang harus dijaga oleh setiap umat Islam supaya menghasilkan tatanan kehidupan yang lebih manusiawi, berdasarkan atas penghormatan individu atas individu, individu dengan masyarakat, masyarakat dengan masyarakat, masyarakat dengan negara dan komunitas agama dengan komunitas agama lainnya.[18]

BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Hak Asasi Manusia adalah hak yang melekat pada diri setiap manusia sejak awal dilahirkan yang berlaku seumur hidup dan tidak dapat diganggu gugat siapa pun.
Perkembangan dan perjuangan dalam mewujudkan tegaknya HAM di Indonesia terutama terjadi setelah adanya perlawanan terhadap penjajahan bangsa asing, sehingga tidak bisa dilihat sebagai pertentangan yang hanya mewakili kepentingan suatu golongan tertentu saja, melainkan menyangkut kepentingan bangsa Indonesia secara utuh.   
Dewasa ini, meskipun ditengarai banyak kasus pelanggaran HAM berat di Indonesia, tetapi secara umum Implementasi HAM di Indonesia, baik menyangkut perkembangan dan penegakkannya mulai menampakkan tanda-tanda kemajuan. Hal ini terlihat dengan adanya regulasi hukum HAM melalui peraturan perundang-undangan. Di samping itu telah dibentuknya Pengadilan HAM dalam upaya menyelesaikan berbagai kasus pelanggaran HAM berat yang terjadi.
Hak Asasi Manusia telah di atur dalam Al-Qur’an dan Hadist dan umat islam harus benar-benar mengetahui hak-hak yang diberikan kepadanya dan menggunakan haknya tersebut sebaik-baiknya selama tidak bertentangan dan melanggar hak orang lain


[1] A. Ubaedillah, Abdul Rozak, Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan  Masyarakat Madani, (Jakarta:ICCE UIN Syarif Hidayatullah, 2006)h. 252

[2] Ibid., h. 252
[3] Rinny Agustina, “Hak Asasi Manusia  Secara Umum”, diakses dari informasiana.com, pada tanggal 02 Juni 2016 pukul 23:17
[4] A. Ubaedillah, Abdul Rozak, Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan  Masyarakat Madani, (Jakarta:ICCE UIN Syarif Hidayatullah, 2006)h.259-260
[5] A. Ubaedillah, Abdul Rozak, Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan  Masyarakat Madani, (Jakarta:ICCE UIN Syarif Hidayatullah, 2006)h. 261
[6] Ibid., h. 261

[7] Ibid., h. 262
[8] Ibid., h. 263
[9] Ibid., h. 264
[10] Ibid., h. 264
[11] Ibid., h. 265
[12] Ibid., h. 266
[13] Ibid., h. 267
[14] Dr. Dede Rosyada, MA, Demokrasi,  Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani, (Jakarta:ICCE UIN Syarif Hidayatullah, 2006)h. 228
[15] Ibid., h. 228
[16] Ahmad Rifa'i, ”Pelanggaran dan Pengadilan HAM”, diakses dari ahmad-rifai-uin.blogspot.com, pada tanggal 02 juni 2016 pukul 20:54
[17] Dr. Dede Rosyada, MA, Demokrasi,  Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani, (Jakarta:ICCE UIN Syarif Hidayatullah, 2006)h. 218
[18] Ansar Zainuddin, “ HAM Dalam Pandangan Islam”, diakses dari ansarbinbarani.blogspot.com, pada tanngal 06 juni 2016 pukul 21:53

DOWNLOAD power point menarik 2017 di SINI 
ANIMASI-ANIMASI dan BACKGROUND PPT yang unik dan menarik DOWNLOAD di SINI

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Makalah Pemikiran EKONOMI ABU UBAID (SPEI)

MAKALAH QARDH