Makalah Civic Education (HAK ASASI MANUSIA)
MAKALAH
CIVIC EDUCATION
HAK
ASASI MANUSIA
DOSEN PENGAMPU:
JT
Pareke
DI SUSUN OLEH:
Mekisa Putra (1516140131)
PERBANKAN SYARIAH
EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM
NEGERI BENGKULU
2016
KATA PENGANTAR
Puji syukur kita penjatkan kehadirat Allah SWT, yang atas
rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan makalah yang
berjudul “HAK ASASI MANUSIA”. Penulisan
makalah ini merupakan salah satu tugas yang diberikan dalam mata kuliah CIVIC
EDUCATION di Institut Agama Islam Negeri Bengkulu.
Dalam Penulisan makalah ini penulis merasa masih
banyak kekurangan baik pada teknis penulisan maupun materi, mengingat akan
kemampuan yang penulis miliki. Untuk itu, kritik dan saran dari semua pihak
sangat penulis harapkan demi penyempurnaan pembuatan makalah ini.
Dalam penulisan makalah ini penulis menyampaikan
ucapan terima kasih yang kepada pihak-pihak yang membantu dalam menyelesaikan
makalah ini, khususnya kepada Dosen kami yang telah memberikan tugas dan petunjuk
kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas ini.
Bengkulu,
2016
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR...................................................................................... i
DAFTAR ISI.................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang...............................................................................................4
B. Rumusan Masalah......................................................................................... 5
C. Tujuan Penulisan............................................................................................5
BAB II PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Hak Asasi Manusia....................................................................... 6
B.
Perkembangan
HAM...................................................................................... 7
C.
Pelanggaraan dan
Pengadilan HAM......................................................... 18
D.
Islam
dan HAM............................................................................................ 20
BAB III PENUTUP
KESIMPULAN
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Hak asasi manusia adalah hak dasar
yang dimiliki manusia sejak manusia itu dilahirkan. Hak asasi dapat dirumuskan sebagai
hak yang melekat dengan kodrat kita sebagai manusia yang bila tidak ada hak
tersebut, mustahil kita dapat hidup sebagai manusia. Hak ini dimiliki oleh
manusia semata – mata karena ia manusia, bukan karena pemberian masyarakat atau
pemberian negara. Maka hak asasi manusia itu tidak tergantung dari pengakuan
manusia lain, masyarakat lain, atau Negara lain.
Hak asasi diperoleh manusia dari
Penciptanya, yaitu Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan hak yang tidak dapat
diabaikan. Sebagai manusia, ia makhluk Tuhan yang mempunyai martabat yang
tinggi. Hak asasi manusia ada dan melekat pada setiap manusia. Oleh karena itu,
bersifat universal, artinya berlaku di mana saja dan untuk siapa saja dan tidak
dapat diambil oleh siapapun. Hak ini dibutuhkan manusia selain untuk melindungi
diri dan martabat kemanusiaanya juga digunakan sebagai landasan moral dalam
bergaul atau berhubungan dengan sesama manusia.
Pada setiap hak melekat kewajiban.
Karena itu,selain ada hak asasi manusia, ada juga kewajiban asasi manusia,
yaitu kewajiban yang harus dilaksanakan demi terlaksana atau tegaknya hak asasi
manusia (HAM). Dalam menggunakan Hak Asasi Manusia, kita wajib untuk
memperhatikan, menghormati, dan menghargai hak asasi yang juga dimiliki oleh
orang lain.
Kesadaran akan hak asasi manusia ,
harga diri , harkat dan martabat kemanusiaannya, diawali sejak manusia ada di
muka bumi. Hal itu disebabkan oleh hak-hak kemanusiaan yang sudah ada sejak
manusia itu dilahirkan dan merupakan hak kodrati yang melekat pada diri manusia.
Sejarah mencatat berbagai peristiwa besar di dunia ini sebagai suatu usaha
untuk menegakkan hak asasi manusia.
B.
Rumusan Masalah
Pada masalah ini penulis akan membahas masalah:
1. Pengertian Hak Asasi Manusia
2. Perkembangan HAM
3. Pelanggaran dan Pengadilan HAM
4. HAM Dalam Tinjauan Islam
C.
Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:
1.
Untuk Mengetahui Arti Hak Asasi Manusia
2.
Untuk Mengetahui Perkembangan HAM di Indonesia
3.
Untuk Menetahui Pelanggaran dan Pengadilan HAM
4.
Untuk Mengetahui HAM Dalam Tinjauan Islam
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian HAM
Menurut Teaching
Human Rights yang diterbitkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), hak asasi
manusia adalah hak-hak yang melekat pada setiap manusia, yang tanpanya manusia
mustahil dapat hidup sebagai manusia. Hak hidup misalnya, adalah klaim untuk
memperoleh dan melakukan segala sesuatu yang dapat memmbuat sesorang tetap
hidup, karena tanpa hak tersebut eksistensinya
sebagai manusia akan hilang.
Menurut
John Locke, hak asasi manusia adalah
hak-hak yang diberikan langsung oleh Tuhan Yang Maha Pencipta sebagai sesuatu
yang bersifat kodrati. Karena sifatnya
yang demikian maka tidak ada kuasa apapun di dunia yang dapaat mencabut hak
asasi setiap manusia. Ia adalah hak dasar setiap manusia yang dibaea sejak
lahir sebagai anugerah Tuhan Yang Mha Esa, buan pemberian manusia atau lembaga
kekuasaan.[1]
Hak asasi manusia
ini tertuang dalam Undang-Undan (UU) Nomor 93 tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia. Dalam salah satu bunyi pasalnya
(pasal 1) secara tersurat dijelaskan” Hak Asasi Manusia (HAM) adalah
seperangkat hak yang melekat pada
hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan yang Maha Esa dan
meruupakan anugerah-nya yang wajib dihormati, diunjung tinggi, dan dilindungi
oleh Negara, hokum, pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta
perlindugan harkat dan martabat manusia”.[2]
Secara umum Ham atau Hak Asasi Manusia adalah hak yang
melekat pada diri setiap manusia sejak awal dilahirkan yang berlaku seumur
hidup dan tidak dapat diganggu gugat siapa pun. Sebagai warga negara yang baik
kita mesti menjunjung tinggi nilai hak azasi manusia
tanpa membeda-bedakan status, golongan, keturunan, jabatan, dan lain
sebagainya.[3]
B. Perkembangan
HAM di Indonesia
Wacana HAM di
Indonesia telah berlangsung seiring denagn berdirinya Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Secara garis besar perkembangan pemikiran HAM di Indonesia dapat
dibagi kedalam dua periode: sebelum
kemerdekaan (1908-1945) dan sesudan kemedekaan (1945-sekarang).
a.
Periode sebelum kemerdekaan (1908-1945)
Pemikiran HAM
dalam periode sebelum kemerdekaan dapat dijumpai dalam sejarah organisasi pergerakann nasional seperti Boedi Oetomo (1908), sarekat islam
(1911), Indische Partji (1912), Partai
Komunis Indonesia (1920), Perhimpunan Indonesia (1927). Lahirnya organisasi
pergerakan nasional itu tidak bias dilepaskan dari sejarah pelanggaran HAM yang
dilakukan oleh penguasa koloial, penajajahan dan pemerasan hak-hak masyarakat
terjajah. Puncak perdebatan HAM yang dilontarkan oleh paratokoh pergerakan
nasiaonal, seperti Soekarno, Agus salim, Mohammad Yamin, KH. Mas Mansur, KH.
Wachid Hasyim, Mr. Maramis Natsir, terjadi
dalam sidang-siadang BPUPKI (Badan Persiapan Usaha-Usaha Kemerdekaan Indonesia).
Dalam sidang-sidang BPUPKI tersebut para tokoh nasional berdebat dan berunding
merumuskan dasar-dasar ketatanegaraan dan kelengkapan negara yang menjamin hak
dan kewajiban negara dan warga negara
dalam negara yang hendak diproklamirkan.
Dalam sejarah
pemikiran HAM di Indonesia, Boedi Oetomo
merupakan organisai penggerakan nasioanl pertama yang menyuarakan pendapaat
memalui petisi-petisi yang ditujukan kepada pemerintah kolonial maupun lewat
tulisan disurat kabar. Inti dari
perjuangan Boedi Oetomo adalah perjuangan akan kebebasan berserikat dan
mengeluarkan pendapat melaui organisasi massa dan konsep perwakilan rakyat.
Searah dengan wacana HAM yang
diperjuangkan oleh Boedi Oetomo, para took penghimpun Indonesia seperti
Mohammad Hatta, Nazir Pomantjak, Ahmad Soebardjo, A. Maramis, lebih menekankan
perjuangan HAM melalui wacana hak menentukan nasb sendiri (the right of self
determination) masyarakat terjajah.[4]
Sedangkan Kalangan
tokoh pergerakan Sarekat Islam , Tjoko Aminoto, H. Samanhudi, Agus Salim,
menyerukan pentingknya usaha-usaha untuk memperoleh penghidupan yang layak dan
bebas dari penindasan dan diskiriminasi rasial yang dilkukan pemerintah
colonial. Berbeda dengan pemikiran HAM dikalangan tokoh nasional sekuler, para
tokoh SI mendasari perjuangan pergerakannya pada prinsip-prinsip HAM dalam
islam.
b.
Periode setelah kemerdekaan (1945-sekarang)
Perdebatan tentang
HAM terus berlanjut sampai periode paska kemerdekaan Indonesia: 1945-1950, 1950-1959, 1959-1998, dan periode
HAM Indonesia kontemporer (paska1998).[5]
1.
Periode 1945-1950
Pemikiran HAM pada periode
awal paska kemerdekaan pada wacana ham
merdeka ( self determination ),
hak kebebasan untuk berserikat melalui organisasi politik yang didirikan serta
hak kebebasan untuk menyampaikan pendapat terutama di parlemen. Sepanjang
periode ini, wacana HAM masih dapat dicirikan pada:
a.
Bidang sispil dan politik, melalui:
-
UUD 1945 (Pembukaan, Pasal 26, Pasal 27, Pasal 28, Pasal 29, Pasal
30, Penjelasan Pasal 24 dan 25)
-
Maklumat Pemerintah 1 November 1945
-
Maklumat Pemerintah 3 November 1945
-
Mkalumat Pemerintah 14 November 1945
-
KRIS, Pasal 7-33
-
KUHP Pasal 99
2.
Periode1950-1959
Periode 1950-1959 dikenal dengan masa demokrasi perlementer.
Sejarah pemikiran HAM pada masa ini dicatat sebagai masa yang sangat kondusif
bagi sejarah perjalan HAM di Indonesia.
Sejalan dengan prinsip demokrasi liberal dimasa itu, suasana kebebasan mendapat
tempat dalam kehidupan politik nasional. Menurut catatan Bagir Manan, masa
gemilang sejaran HAM di Indonesia pada masa ini tercermin pada lima indicator HAM:
1.
Munculnya partai-partai politik denagn beragam ideology
2.
Adanya kebebasan pers
3.
Pelaksanaan pemilihan umum secara
aman, bebas dan demokratis
4.
Kontrol perlemenatas eksekutif.
Perdebatan HAM melaui mimbar parlemen (Konstituante) berlangsung
secara bebas dan demokratis. Berbagai partai politik yang berbeda haluan dan
ideology sepakat tentang subtansi HAM
universal dan pentingnya HAM masuk dalam UUD dan bab tersendiri. Bahkan
diusulkan supaya kemerdekaan HAM mendahului bab-bab UUD.
Tercatat pada periode ini Indonesia meratifikasi 2 konvensi
intenasioal HAM yaitu:
-
Empat konvensi Genera 1949
dengan UU No. 59 Tahun 1958 yang mencakup perlindungan hak bagi korban perang,
tawanan perang dan perlindungan sipil diwaktu perang
-
Konvensi tentang Hak Politik Perempuan dengan UU. 68 Tahun
1958 yang mencakup hak perempuan untuk
memilih dan dipilh tanpa perlakuan diskriminasi, serta hak perempuan untuk
menempati jabatan publik.[6]
3.
Periode 1959-1966
Periode ini merupakan masa masa berakhirnya demokrasi liberal,
digantikan oleh system demokrasi
terpimpin yang berpusat pada kekuasaan Presiden Soekarno. Demokrasi
terpimpin (guilded democracy) tidak lain sebagai bentuk penolakan Presiden
terhadap sistem demokrasi perlementer yang dinilainya sebagai produk Barat. Menurut Soekarno,
demokrasi parlementer tidak sesuai dengan karakter bangsa Indonesia yang telah memiliki tradisinya sendiri dalam
kehidupan bermasyarakat dan bernegara.[7]
Melalui sistem demokrasi terpimpin kekuasaan terpusat ditangan
Presiden. Presiden tidak dapat dikontrol oleh parlemen, sebaliknya perlemen
dikendalikan oleh presiden. Kekuasaan Presiden Soekarno bersifat absolute,
bahkan dinobatka sebagai presiden RI seumur hidup. Akibat langsung dari model
pemerintahan yang sangat individual ini adalah pemasungan hak-hak asasi warga
negara. Semua pandangan politik masyarakat diarahkan harus sejalan dengan
kebijaakan pemerintah yang bersifat otoriter. Dalam dunia seni, misalnya, atas nama revolusi
pemerintahan Presiden Soekarno telah menjadikan Lembaga Kebudayaan Rakyat
(Lekra) yang berafiliasi kepada KPI sebagai satu-satu nya lembaga seni yang
diakui pemerintah. Sebaliknya, lembaga selain Lekra dianggap anti pemerintah
atau kontra revolusi. PKI sebagai komponen politik yang menganut prinsip dan
ajaran Sosialisme sekunder mendapat dukungan politik dari Presiden Soekarno.
Sebaliknya presiden soekarno tidak bias menafikan keberadaan PKI sebagai partai
politik yang memiliki masa yang besar
dengan dukungan organisai yang modern dan disiplin. Sekalipun melanggar prinsip-prinsip HAM, Presiden
Soekarno terpaksa harus memperhitunkan
keberadaan PKI.
Kedekatan Presiden Soekarno dengan PKI menimbulkan gejolak politik
yang ditandai oleh ketidaksukaan
kelompok militer (TNI) dan elemen-elemen politik dari kalangan nasonalis dan
kelompok agama, khusunya Islam. Akhir dari kediktatoran pemerintah Presiden Soekarno adalah berakhinya pemerintah melalui kudeta
berdarah yang dikenal dengan peritiwa Garakan 30 September 1965. Gerakan klimaks dari
perseteruan politik antara PKI dan TNI, khususnya angkatan darat.Akhir
pemerintah Presiden Soekarno sekligus sebagai awal naiknya pemerintah Presiden
Soeharto yang dikenal dengan sebutan era Orde Baru. Iamenggantikan Presiden
Soekarno melaui surat pemerintah sebelas Maret (Supersema).[8]
4.
Periode 1966-1998
Pada mulanya, lahirnya Orde Baru menjanjikan harapan baru bagi
penegakan HAM di Indonesia. Berbagai
seminar tentang HAM dilakukan Orde Baru.
Namun pada kenyataanya, Orde Baru telah menorehkan sejarah hitam
pelangaran HAM di Indonesia sepanjang sejarah Indonesia modern. Janji Orde Baru
dalam penegakan HAM ditunjukan melalui beragam seminar tentang HAM. Pada tahun
1967 Orde Baru merekomendasikan gagasan
tentang perlunya pembentukan pengadilan
HAM, pembentukan komisi dan pengadilan HAM untuk wilayah Asia. Gagasan ini
ditindak lanjuti dengan seminar Nasional Hukum II 1968 yang merekomendasikan
prlunya hak uji materil (judicial review) dilakukan guna melindungi HAM.
Hak uji materil tersebut dilakukan dalam rangka melindungi kebebasan dasar
manusia. Dalam rangka pelaksanaan TAP MPRS No. XIV/MPRS1966, MPRS melaui
panitia Ad Hoc IV telah merumuskan piagam tentang Hak-hak Asasi Manusia dan
Hak-hak serta Kewajiban Negara.
Janji-jani Orde Baru tentang pelaksanaan HAM di Indonesia mengalami
kemunduran amat pesat sejak awal 1970-an. Setelah mendapatkan mandate
konstitusional dari sidang MPRS, pemerintah Orde Baru mulai menunjukan watak
aslinya sebagai kekuasaan yang anti HAM Orde Baru sesungguhnya tidak berbeda
dengan argrumen yang pernah dikemukakan Presiden Soekarno ketiak menolak
prinsip dan praktek demokrasi parlementer, yakni sikap apologis dengan cara
mempertentangkan demokrasi dan prinsip HAM yang lahir di Barat dengan
prinsip-prinsip lokal Indonesia. HAM dan demokrasi dinilai oleh Orde Baru yang
militeristik sebagai produk Barat yang individualistic dan bertentangan
dengan prinsip gotong royong dan kekeluargaan yang d anut oleh bangsa
Indonesia. Diantara butir penolakan pemerintah Orde Baru terhadap konsep
universal HAM adalah:
a.
HAM adalah produk pemikiran Barat yang tidak sesuai dengan
nilai-nilai luhur budaya bangsa yang tercermin dalam Pancasila.
b.
Bangsa Indonesia sudah terlebih dahulu mengenal HAM sebagaiman
tertuang dalam rumusan UUD 1945 yang lahir lebih dahulu dibandingkan dengan
Deklarasi Universal HAM.[9]
c.
Isu HAM seringkali digunakan oleh negara-negara Barat untuk
memojokan negara yang sedang berkembang seperti indonesia.
Apa yang dikemukakan oleh pemerintah Orde Baru tidak seluruhnya
keliru, dan tidak pula semuanya benar. Sikap apriori Orde Baru terhadap HAM
Barat searah dengan pelangaran HAM yang
dilakukannya. Pelanggaran HAM Orde Baru ditilik dari kebijakan politik
Orba yangb bersifat sentralistik dan penumpasan gerakan politik yang berbeda
dengan pemerintah presiden soeharto. Sepanjang pemerintah Presiden Suharto
tidak dikenal istilah partai oposisi, bahkan sejumlah gerakan yang berlawanan
dengan kebijakan pemerintah dinilai sebagai anti pembangunan bahkan anti
Pancasila. Melalui pendekatan keamanan (security approach) dengan
cara-cara kekerasan yang berlawanan dengan prisip-prinsip HAM, pemerintah Orba
tidak segan-segan menmpas segala bentuk aspirasi masyarakat. kasus pelangaaran
HAM Tanjung Priok, Kedung Ombo, Lampung, Aceh merupakan segelintir daftar
pelanggaran HAM yang dilakukan oleh rezim Orde
Baru.
Ditengah kuatnya peran negara Orde Baru, suara yang memperjuangkan
penegakan HAM dilakukan kalangan organisasi non pemerintah (organisasi social
kemasyarakatan) atau Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Upaya penegakan HAM oleh
kelompok-kelompok non pemerintah membuahkan hasil yang mengembirakan di awal
90-an. Kuatnya tuntutan penegakan HAM dari kalangan masyarakat merubah
pendirian Orba untuk bersikap akomodatif trhadap tuntutan HAM yang disuarakan
masyarakat.[10]
Sikap akomodatif Orba
ditunjukan dengan dukungan pemerintah meratifikasi tiga konvensi HAM:
Konvensi tentang penghapusan segala bentuk Diskriminasi terhadap perempuan
melalui UU No. 7 tahun 1984 konvensi Anti-Apartheid dalam Olah Raga melaui UU
No. 48 tahun 1993, dan konvensi Hak Anak melaui keppres No. 36 tahun 1990.
Namun demikian, sikap akomodotif pemerintah Orba terhadap tuntutan HAM oleh
masyarakat belum sepenuhnya diserasikan dengan pelaksaan HAM secara murni dan
konsekuen masih jauh dari harapan masyarakat. Akumulasi pelangaaran HAM negara
semasa periode ini tercermin dengan tuntutan mundur Presiden Soeharto dari
kursi kepresidenan yang disuarakan oleh kelompok reformis dan mahasiswa pada
tahun 1998. Isu pelanggaran HAM dan penyalahgunaan kekuasaan mewarnai tuntutan
reformasi yang disuarankan pertama kali
oleh Dr. Amin Rais, tokoh intelektual Muslim Indonesia yang sangat kritis
terhadap kebijakan pemerintah Orde Baru.[11]
5.
Periode paska Orde Baru
Tahun 1998 adalah era
paling penting dalam sejrah HAM Indonesia.
Lengsernya yampuk kekuasaan Orde Baru sekaligus menandai berakhirnya rezim
militer di Indonesia dan datangnya era
baru demokrasi dan HAM, setelah tiga puluh tahun lebih terpasung dibawag rezim
otoriter Orde Baru. Pada tahun ini Presiden Soeharto digantikan oleh BJ.
Habibie yang kala itu menjabat sebagai
wakil presiden RI. Tuntutan para tokoh reformasi dan mahasiswa akan pergantian
kekuasaan otoriter Orde Baru dengan kekuasaan yang berlangsung secara
demokratis dan tuntutanpenegakan HAM menjadikan era ini dikenal dengan Era
Reformasi. Menyusul berakhirnya pemerintahan Orde Baru, pengkajian terhadap
kebijakan pemerintah Orde Baru yang bertentangan dengan prinsip-prinsip HAM
mulai dilakukan kelompok reformis dengan membuat perundang undangan baru yang
menjunjung prinsip-prinsip HAM dalam kehidupan ketatanegaraan dan
kemasyarakatan. Tak kalah penting dari perubahan perundangan, pemerintah Era
Reformasi juga melakukan ratifikasi terhadap instrument HAM internasional untuk
mendukung pelaksaan HAM di Indonesia.
Pada masa pemerintahan Habibie misalnya, perhatian pemerintah
terhadap pelaksanaan HAM mengalami perkembangan yang sangat signifikan. Lahirnya TAP MPR No. XIVII/MPR/1998 tentang
HAM merupakan salah satu indicator keseriusan pemerintahan era reformasi.
Sejumlah konvensi HAM juga diratifikasi: konvensi ILO No. 87 tenntang kebebasan
berserikat dan perlindungan hak untuk untuk berorganisasi dengan kepres No.
83/1998; konvensi menentang penyiksaan
dan perlakuan kejam lainya dengan UU No. 5/1999; konvensi penghapusan segala
bentuk diskriminasi rasial dengan UU. 29/1999; konvensi ILO No. 111 tentang
diskriminasi dalam pekerjaan dan jabatan dengan UU No. 21/1999; konvensi ILO
No. 138 tentang usia minimum untuk diperbolehkan bekerja dengan UU No. 20/1999.[12]
Komitmen Pemerintah terhadap Penegakan HAM juga ditunjukan dengan
pengesahan UU No. 39 Tahun 1999 tentang
HAM, pembentukan kantor Menteri Negara Urusan HAM pada tahun 1999 yang kemudian
digabungkan pada tahun 2000 dengan Departemen Hukum dan perundang-undangan
menjadi Departemen hokum dan perundang-undangan menjadi departemen Kehakiman
dan HAM, penambahn pasal-pasal khusus tentaang HAM dalam Amandemen UUD 195 pada 2000, penerbitan
inpres No. 9 Tahun 2000 tentang pengarusutaman Gender dalam pembangunan Nasional,
pengesahan UU No. 26 Tahun 2000 tentang pengadilah HAM. Pada septenber
2001 Indonesia juga mendatangi dua
protokol Hak Anak, yakni protokol yang terkait dengan larangan perdagangan,
prostitusi, dan pornografi anak, serta protokol ysngg terkait dengan
keterlibatan anak dalam konflik bersenjata. Menyusul kemudian, pada tahun 2002
pemerintah membuat pengesahan UU No. 23 tahu 2002 tentang perlindungan Anak,
pengesahan UU No. 23 tahun 2004 tentang
penhapusan kekerasan dalam Rumah Tangga,
penerbitan keppres No. 40 tahun 2004 tentang Rencana Aksi Nasional (RAN) HAM
tahun 2004-2009.[13]
Secara operasional, beberapa bentuk HAM yang terdapat dalam UU
Nomor 39 tahun 1999 tentang HAM sebagai berikut:
1.
Hak untuk hidup
2.
Hak berkeluarga dan melanjutkan keturuan
3.
Hak mengembangkan diri
4.
Hak memperoleh keadilan
5.
Hak atas kebebasan pribadi
6.
Hak atas rasa aman
7.
Hak atas kesejahteraan
8.
Hak turut serta dalam pemerintahan
9.
Hak wanita
10.
Hak anak
C.
Pelangaran dan Pengadilan HAM
Pelanggaran HAM adalah setiap perbuatan seseorang atau kelompok
orang termasuk aparat negara baik disengaja ataupun kelalaian yang secara hokum
mengurangi, menghalangi, dan atau mencabut hak asasi manusia seseorang atau
kelompok orang yang dijamin oleh Undang-undang ini dan tidak didapatkan,
atau dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan
benar, berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku
(UU No. 26/2000 tentang pengadilan HAM). Dengan demikian pelanggaran HAM
merupakan tindakan pelanggaran kemanusiaan
baik dilakukan oleh individu maupun oleh institusi negara atau institusi
lainnya terhadap hak asasi individu lain tanpa ada dasar atau alasan yuridis
dan alas an rasional yang menjadi pijakannya.Pelanggaran HAM dikelmpokan pada
dua bentuk yaitu, pelanggaran HAM berat dan pelanggaran HAM ringan. Pelanggaran
HAM berat meliputi kejahatan Genosida dan kejahatan kemanusiaan (UU No. 26/2000
tentang pengadilan HAM).sedangkan bentuk pelanggaran HAM ringan selain dari
kedua bentuk pelanggaran HAM berat itu.[14]
Pelanggaran terhadap HAM dapat dilakukan baik oleh aparatur negara
(state-actors) maupun bukan aparatur negara (non stste-actors)
(UU No. 26/2000 tenatang pengadilan HAM). Karena itu penindakan terhadap
pelanggaran hak asasi manusia tidak boleh hanya di tujukan terhadap aparatur
negara, tetapi juga pelanngaran HAM tersebut dilakukan melalui proses peradilan
HAM mulai dari penylidikan, penuntutan dan persidangan terhadap pelanggaran
yang terjadi harus bersifat non-diskriminatif dan berkeadilan. Pengadilan HAM
merupakan pengadilan khusus yang berada di lingkungan Pengadilan Umum.
Pelanggaran HAM dikelompokkan pada dua bentuk,
yaitu: (1) pelanggaran HAM berat; dan (2) palanggaran HAM ringan. Pelanggaran
HAM berat meliputi kejahatan genosida dan kejahatan kemanusiaan. Adapun, bentuk
pelanggaran HAM ringan selain dari selain
dari keduabentuk pelanggaran HAM berat tersebut.[15]
Kejahatan genosida adalah setiap perbuatan yang
dilakukan dengan maksud untuk menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau
sebagian kelompok bangsa, ras, kelompok etnis, dan agama.
Kejahatan kemanusiaan adalah suatu perbuatan yang
dilakukan dengan serangan yang meluas dan sistematis.
Sebagai salah satu upaya untuk memenuhi rasa
keadilan, maka pengadilan atas pelanggaran HAM kategori berat, seperti genosida
dan kejahatan terhadap kemanusiaan diberlakukan atas retroaktif. Dengan
demikian, pelanggaran HAM kategori berat dapat diadili dengan membentuk
pengadilan HAM Ad Hoc. Pengadilan HAM Ad Hoc dibentuk atas usul Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR) dengan keputusan presiden dan berada di lingkungan
pengadilan umum.
Pengadilan HAM berkedudukan di daerah tingkat I
(provinsi) dan daerah tingkat II (kabupaten/kota) yang meliputi daerah hukum
pengadilan umum yang bersangkutan. Pengadilan HAM bertugas dan berwenang
memeriksa dan memutus perkara pelanggaran HAM yang berat. Pengadilan HAM
berwenang juga memeriksa dan memutuskan perkara pelanggaran HAM oleh warga
negara Indonesia yang berada dan dilakukan di luar batas teritorial wilayah
Negara Republik Indonesia.[16]
D. HAM Dalam Tinjauan Islam
Islam sebagai sebuah agama dengan
ajarannya yang universal dan komprehensif meliputi akidah, ibadah, dan
mu’amalat, yang masing-masing memuat ajaran tentang keimanan, dimensial ibadah
memuat ajaran tentang mekanisme pengabdian manusia terhadap Allah dengan memuat
ajaran tentang hubungan manusia dengan sesama manusia maupun dengan alam
sekitar. Kesemua dimensi ajaran tersebut dilandasi oleh ketentuan-ketentuan
yang disebut dengan istilah syari’at atau fikih. Dalam konteks syari’at dan
fikih itulah terdapat ajaran tentang hak asasi manusia (HAM). Adanya ajaran
tentang HAM dalam islam.[17]
Hak
asasi manusia dalam Islam tertuang secara jelas untuk kepentingan manusia,
lewat syari’ah Islam yang diturunkan melalui wahyu. Menurut syari’ah, manusia
adalah makhluk bebas yang mempunyai tugas dan tanggung jawab, dan karenanya ia
juga mempunyai hak dan kebebasan. Dasarnya adalah keadilan yang ditegakkan atas
dasar persamaan atau egaliter, tanpa pandang bulu. Artinya, tugas yang diemban
tidak akan terwujud tanpa adanya kebebasan, sementara kebebasan secara
eksistensial tidak terwujud tanpa adanya tanggung jawab itu sendiri. Sistem HAM
Islam mengandung prinsip-prinsip dasar tentang persamaan, kebebasan dan
penghormatan terhadap sesama manusia. Persamaan, artinya Islam memandang semua
manusia sama dan mempunyai kedudukan yang sama, satu-satunya keunggulan yang
dinikmati seorang manusia atas manusia lainya hanya ditentukan oleh tingkat
ketakwaannya. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam Surat Al-Hujarat ayat
13, yang artinya sebagai berikut :“Hai manusia, sesungguhnya Kami ciptakan
kamu dari laki-laki dan perempuan, dan Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan
bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di
antara kaum adalah yang paling takwa.”
Pada
dasarnya HAM dalam Islam terpusat pada lima hal pokok yang terangkum dalam al-dloruriyat
al-khomsah atau yang disebut juga al-huquq al-insaniyah fi al-islam (hak-hak
asasi manusia dalam Islam). Konsep ini mengandung lima hal pokok yang harus
dijaga oleh setiap individu, yaitu hifdzu al-din (penghormatan
atas kebebasan beragama), hifdzu al-mal (penghormatan atas
harta benda),hifdzu al-nafs wa al-‘ird (penghormatan atas jiwa, hak
hidup dan kehormatan individu) hifdzu al-‘aql(penghormatan atas
kebebasan berpikir) dan hifdzu al-nasl(keharusan untuk menjaga
keturunan). Kelima hal pokok inilah yang harus dijaga oleh setiap umat Islam
supaya menghasilkan tatanan kehidupan yang lebih manusiawi, berdasarkan atas
penghormatan individu atas individu, individu dengan masyarakat, masyarakat
dengan masyarakat, masyarakat dengan negara dan komunitas agama dengan
komunitas agama lainnya.[18]
BAB
III
PENUTUP
Kesimpulan
Hak Asasi Manusia adalah hak yang melekat pada
diri setiap manusia sejak awal dilahirkan yang berlaku seumur hidup dan tidak
dapat diganggu gugat siapa pun.
Perkembangan dan perjuangan dalam mewujudkan
tegaknya HAM di Indonesia terutama terjadi setelah adanya perlawanan terhadap
penjajahan bangsa asing, sehingga tidak bisa dilihat sebagai pertentangan yang
hanya mewakili kepentingan suatu golongan tertentu saja, melainkan menyangkut kepentingan
bangsa Indonesia secara utuh.
Dewasa ini, meskipun ditengarai banyak kasus
pelanggaran HAM berat di Indonesia, tetapi secara umum Implementasi HAM di
Indonesia, baik menyangkut perkembangan dan penegakkannya mulai menampakkan
tanda-tanda kemajuan. Hal ini terlihat dengan adanya regulasi hukum HAM melalui
peraturan perundang-undangan. Di samping itu telah dibentuknya Pengadilan HAM
dalam upaya menyelesaikan berbagai kasus pelanggaran HAM berat yang terjadi.
Hak Asasi Manusia telah di atur dalam Al-Qur’an
dan Hadist dan umat islam harus benar-benar mengetahui hak-hak yang diberikan
kepadanya dan menggunakan haknya tersebut sebaik-baiknya selama tidak
bertentangan dan melanggar hak orang lain
[1] A. Ubaedillah, Abdul Rozak, Demokrasi, Hak Asasi Manusia
dan Masyarakat Madani, (Jakarta:ICCE
UIN Syarif Hidayatullah, 2006)h. 252
[2] Ibid., h. 252
[3] Rinny Agustina, “Hak Asasi Manusia
Secara Umum”, diakses dari informasiana.com, pada tanggal 02 Juni 2016
pukul 23:17
[4] A. Ubaedillah, Abdul Rozak, Demokrasi, Hak Asasi Manusia
dan Masyarakat Madani, (Jakarta:ICCE
UIN Syarif Hidayatullah, 2006)h.259-260
[5] A. Ubaedillah, Abdul Rozak, Demokrasi, Hak Asasi Manusia
dan Masyarakat Madani, (Jakarta:ICCE
UIN Syarif Hidayatullah, 2006)h. 261
[14] Dr. Dede Rosyada, MA, Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani, (Jakarta:ICCE
UIN Syarif Hidayatullah, 2006)h. 228
[16] , ”Pelanggaran dan
Pengadilan HAM”, diakses dari ahmad-rifai-uin.blogspot.com, pada tanggal 02 juni 2016 pukul 20:54
[17] Dr. Dede Rosyada, MA, Demokrasi,
Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani, (Jakarta:ICCE UIN Syarif
Hidayatullah, 2006)h. 218
Komentar
Posting Komentar